Naradaily-Dimulai 2026, pemerintah ungkap alasan pangkas masa berlaku RKAB jadi setahun. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan alasan di balik kebijakan pengajuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) menjadi satu tahun sekali, dari sebelumnya berlaku tiga tahun sekali.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan, perubahan kebijakan tersebut berangkat dari evaluasi menyeluruh atas efektivitas sistem tiga tahunan yang diterapkan beberapa tahun terakhir. Awalnya, keputusan memperpanjang masa RKAB menjadi tiga tahun dibuat karena keterbatasan sumber daya manusia di pemerintah pusat setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020.

“Di pusat dulu hanya menangani terkait dengan penanaman modal asing dan IUP (Izin Usaha Pertambangan) BUMN, serta PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) dan kontrak karya. Kemudian dilimpahi begitu banyaknya perizinan yang ada di daerah yang kemudian melimpah ke pusat,” jelasnya di Jakarta, dikutip Selasa (4/11/2025).

Namun, seiring waktu, sistem pengajuan RKAB tiga tahunan ternyata justru menimbulkan masalah baru. Pihaknya kesulitan untuk cepat beradaptasi pada situasi global yang fluktuatif.

“Setelah kita lakukan evaluasi, ternyata tiga tahun ini responsifnya kita itu kurang. Sehingga apabila terjadi gejolak di pasar, baik domestik maupun global, itu jadi lambat. Kontrolnya jadi lambat,” ujar Tri.

Atas dasar itu, pemerintah kemudian menetapkan perubahan baru lewat Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2025. Lewat aturan ini, penyusunan dan penyampaian RKAB kembali dibuat per tahun.

“Untuk tahunan lebih kepada perbaikan tata kelola, terus kemudian kita nanti percepatan terhadap kondisi pasar global dan dunia seperti apa itu kita cepat responsifnya,” ujarnya. Selain itu, pemerintah juga bisa lebih mengontrol arah produksi mineral nasional agar sesuai dengan kebutuhan dan strategi negara.

Kendati demikian, pihaknya tak menampik kembalinya RKAB menjadi setahun sekali dinilai menimbulkan tantangan administratif bagi perusahaan tambang. Tak sedikit yang menilai bahwa perubahan ini menciptakan ketidakpastian hukum.

Namun, pihaknya sudah menyiapkan solusi digital untuk mempermudah proses tersebut. “Kita nantinya dengan RKAB satu tahunan ini menggunakan aplikasi namanya Minerba One. Di dalamnya nanti si perusahaan itu akan tahu sampai di posisi mana dia RKAB dia dilakukan evaluasi,” imbuhnya.

Melalui Minerba One, proses pengajuan dan evaluasi RKAB diharapkan bisa berjalan jauh lebih cepat dan transparan. Menurutnya, perubahan kebijakan tersebut sekaligus menjadi langkah untuk menghadapi dinamika harga komoditas yang fluktuatif.

“Sekarang ini rumus itu jadi berubah. Nah inilah yang kadang-kadang membuat kita harus cepat beradaptasi, mengintervensi. Nah dengan adanya yang tahunan ini mudah-mudahan kita lebih mendapatkan gain,” terangnya lagi.

Sementara itu, sebelumnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut, sekarang proses pengajuan RKAB lebih terbuka dan bisa lewat aplikasi.

“Jadi saya yakin teman-teman bisa lebih transparan,” sebutnya. Tri Winarno mengatakan, para pelaku tambang memiliki waktu pendaftaran RKAB untuk tahun 2026 hingga 15 November 2025.

Tri menambahkan, pengajuan terkait RKAB memang ditarget selesai 15 November. Namun ke depannya, pihaknya akan kembali mengecek perusahaan-perusahaan yang telah mengajukan.

“Oh belum, nanti kami cek lah, kan baru dibuka (Minerba One). Nanti kita lihat apakah pada sistem kami ada permasalahan (pencatatan RKAB) atau tidak. Kalau selama sistem nggak ada masalah, ya sudah (sampai 15 November),” tambah dia.

Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batubara Indonesia (Aspebindo) mendukung rencana pemerintah untuk mengubah sistem pengajuan RKAB dari tiga tahun menjadi setahun sekali. Langkah ini dinilai mampu mendorong pengendalian produksi dan mendongkrak penerimaan negara dari sektor mineral dan batu bara.

Wakil Ketua Umum Aspebindo Fathul Nugroho menilai sistem RKAB tahunan akan membantu menyesuaikan target produksi dengan kondisi pasar aktual. “Salah satu penyebab turunnya PNBP adalah sistem RKAB yang berlaku tiga tahun, sehingga tidak fleksibel terhadap perubahan pasar,” kata Fathul melalui keterangan tertulis, dikutip Selasa (4/11/2025).

Ia mencontohkan, dalam RKAB 2025, Indonesia menargetkan produksi batu bara sebesar 900 juta ton, dengan target 600 juta ton di antaranya dialokasikan untuk ekspor. Namun, penyerapan pasar global tidak selalu mampu mengimbangi angka produksi tersebut.

Kondisi tersebut menyebabkan kelebihan pasokan dan berujung pada jatuhnya harga ekspor serta penurunan penerimaan negara. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan mineral dan batubara pada kuartal I 2025 tercatat sebesar Rp23,7 triliun.

Nilainya turun 7,42 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan tersebut terutama dipicu oleh merosotnya harga batu bara di pasar global. Padahal, pemerintah menetapkan target PNBP minerba tahun ini sebesar Rp124,5 triliun, lebih rendah dari capaian tahun lalu yang mencapai Rp142 triliun.

Dengan perubahan sistem RKAB menjadi tahunan, Fathul berharap pemerintah dapat lebih adaptif terhadap dinamika harga dan permintaan pasar global. Ia menambahkan, kebijakan ini sebaiknya tidak hanya diterapkan untuk komoditas batu bara, tetapi juga nikel, bauksit, dan komoditas tambang lainnya.

“Bila produksi terkendali, harga ekspor bisa naik dan berdampak positif terhadap penerimaan negara maupun keuntungan perusahaan tambang,” ulasnya. (sic)