Naradaily-Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan dari tingkat produktivitas suatu negara.

“Pertumbuhan yang tinggi itu pasti lebih produktif. Pertumbuhan yang rendah itu pasti produktivitasnya rendah,” ujarnya dalam Peluncuran Dokumen Master Plan Produktivitas Nasional di Gedung Bappenas, Jakarta, Selasa (7/10/2025).

Menurut Rachmat, tenaga kerja Indonesia sebenarnya memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan banyak negara lain. Namun, insentif yang diterima masih jauh lebih rendah. Ia mencontohkan, petani di negara tetangga bisa memperoleh pendapatan 20 dolar AS per jam, padahal hasil produksi petani Indonesia 3–5 kali lebih besar.

“Kenapa kita selalu merendahkan bangsa sendiri? Dan itu terjadi bukan hanya di petani, di konsultan kita juga. Kenapa konsultan Indonesia dihargai rendah tapi dituntut produktivitas tinggi? Itu ketidakadilan,” kata Rachmat.

Ia menekankan bahwa peningkatan daya saing sumber daya manusia harus dimulai dari produktivitas yang dibarengi dengan perbaikan ekosistem kerja. Ia mencontohkan periode 1980–1990-an, ketika Indonesia sempat menjadi negara dengan produktivitas tinggi karena ekosistem ekonomi yang sehat, pertumbuhan stabil, dan inflasi yang terjaga.

Berdasarkan data Bappenas, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8,1 persen selama 1968–1979, bahkan sempat menyentuh 9,88 persen di era 1980–1990-an. Keberhasilan tersebut ditopang kebijakan diversifikasi ekspor, swasembada pangan, deregulasi perbankan, dan kemudahan investasi.

Pada tahun 1993, Total Factor Productivity (TFP) Indonesia tercatat 1,4 — lebih tinggi dibandingkan China (1,39), Malaysia (1,24), India (0,94), dan Vietnam (1,19). Namun, pada 2022, angka TFP Indonesia turun menjadi 1,05 dan tertinggal dari negara lain seperti Vietnam (1,17), Malaysia (1,69), Korea Selatan (2,09), India (2,18), dan China (2,52).

Selama dua dekade terakhir, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih bergantung pada ekspansi modal dan tenaga kerja, sementara produktivitas output ekonomi stagnan di kisaran 4–5 persen.

Rachmat mencontohkan bagaimana petani India berhasil meningkatkan produktivitas dengan memanfaatkan teknologi drone untuk penyemprotan pupuk. “Untuk penyemprotan 1 ekar lahan hanya butuh satu orang operator drone selama 10–15 menit, risiko paparan bahan kimia sangat kecil, dan hasilnya lebih merata,” katanya.

Sebaliknya, penyemprotan manual membutuhkan 3–4 orang, waktu 5–6 jam, risiko tinggi, dan hasil yang tidak merata. Ia juga menyinggung keberhasilan China dalam industri manufaktur. “Kenapa China bisa menghasilkan mobil 100–500 ribu unit per hari? Karena mereka menggunakan robot. Tenaga kerjanya membuat robot makin produktif, dan karena makin produktif, pendapatannya makin tinggi,” ujar Rachmat.

Ia menegaskan, untuk menjadi negara maju, Indonesia harus meningkatkan kontribusi sektor manufaktur hingga 40 persen dari PDB, bukan hanya 20 persen. “Setiap rupiah yang dibelanjakan harus kembali lebih banyak, setiap jam kerja harus dimanfaatkan maksimal, dan setiap alat yang digunakan harus lebih baru,” tegasnya.

Rachmat berharap Master Plan Produktivitas Nasional yang diluncurkan dapat menjadi pedoman dalam menerapkan cara kerja baru yang lebih efisien. Ia menyerukan kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dunia usaha, dan akademisi untuk meningkatkan total produktivitas Indonesia. “TFP kita harus meningkat agar ketimpangan antarwilayah berkurang. Indonesia harus menjadi negara yang produktif untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045,” tutupnya. (kom)