Naradaily-Melangkahkan kaki di Hotel Solitaire, kawasan Gading Serpong terasa sejuk dan bersahabat. Semua staf sejak di area parkir hingga lobi menyambut dengan hangat.

Pun, begitu tim Naradaily melangkah ke ruang mezanine, persis satu lantai diatas lobi, sambutan hangat yang sama juga langsung terasa. Tak lama, persis pukul 13.00, ruang kerja bernuansa kayu elegan nan klasik terbuka, lalu tampak sang pemilik perusahaan raksasa JHL Group menyapa kami dari balik pintu, sembari mempersilakan tim Naradaily masuk.

Sembari berjalan masuk ke ruang kerja Jerry Hermawan Lo yang megah dan klasik, saya bergumam dalam hati, ”Sepertinya keramahan sudah menjadi standar mutlak menyambut tamu di hotel ini. Pantas saja, bosnya saja seramah dan sehangat ini dengan tamu”.

Jerry Hermawan Lo (JHL) tampak telah menanti kami di ujung meja, dengan senyum ramah mengembang di wajah. Di atas meja, terhidang air mineral dalam botol kaca dan beberapa kue basah.

“Silakan, santai saja, apa kabar? Lama enggak bertemu,” ujarnya sambil menjulurkan tangan untuk menyalami kami berempat. Ia tampak tersenyum lebar.

Tak lama usai mempersilakan kami duduk, tawa khas JHL yang renyah pecah di ruangan. Suasana kaku seketika mencair.

Begitulah kesan awal bertemu kembali dengan Jerry Hermawan Lo, setelah puluhan tahun tak berjumpa. Ya, saya secara pribadi telah mengenal Pak Jerry-biasa saya menyapa, puluhan tahun lalu, di awal karier saya sebagai jurnalis.

Pak Jerry yang sama, yang saya temui puluhan tahun kemudian tampak tak berubah. Ia tetap bersahaja, sederhana, tapi memancarkan aura pemimpin dan pengusaha besar yang sulit disembunyikan.

Pria kelahiran Medan, 68 tahun silam itu, memang bukan pengusaha biasa. Ia adalah sosok di balik nyaris 50 perusahaan yang bernaung di bawah bendera besar JHL Group — membentang dari sektor properti, perhotelan, pertanian, hingga otomotif.

Namun, perjalanan panjang menuju kesuksesan itu tidak dilaluinya dengan mudah. Sosok JHL sudah banyak diulas berbagai media. Jerry bukan kaya mendadak, ia membangun “kerajaan bisnisnya” selangkah demi selangkah, gagal, bangkit lagi, hingga menjadi tak terbendung, hari ini.

“Saya ini sudah pernah jatuh berkali-kali. Bangkrut, gagal, ditipu. Tapi justru dari situ saya belajar,” tutur anak penjaja kue itu, matanya menatap jauh seolah mengingat masa lalu.

Jangan kira bisnis pertamanya langsung sukses. Dalam bukunya berjudul ”Life University”, Jerry diketahui memulai bisnis dengan berjualan sabun colek bermerek ACC.

Tapi usaha itu tak bertahan lama, karam sebelum ia benar-benar bisa mereguk untung. Cerita kegagalan yang sama juga dialami saat menjadi importir cokelat, membangun usaha filter air yang sempat mereguk cuan, tapi kandas juga karena belum terasa cocok antara usaha dan hasil.

Tak ingin lama terpuruk, Jerry bangkit dengan menjajal bisnis perkebunan jahe. Namun malang tak bisa ditolak, perkebunannya justru habis dilalap hama, sehingga rugi besar.

”Belakangan saya mulai menjajal bisnis burung perkutut dan lumayan mendapat keuntungan dari jualan beberapa burung perkutut dengan kicau terindah. Dari modal jualan burung perkutut, saya mulai mencoba peruntungan sebagai agen properti, belajar jual beli tanah. Baru kemudian mencoba peruntungan di bisnis properti,” ucapnya, disadur dari buku biografinya yang ditulis Steven Beteng.

Jiwa Bisnis Mengalir dalam Darahnya

Karena jiwa bisnis memang sudah mandarah daging, Jerry tak ingin berhenti hanya di satu bidang saja. Bisnis properti ia jalani, lalu ia juga mulai merambah otomotif. Mobil jeep jadi fokus bisnisnya, hingga lahirnya JHL Auto yang awalnya hanya menjual aneka varian jeep Wrangler.

Tak puas hanya membangun diler, Jerry pun beride membuat JSI Resort di kawasan Mega Mendung, Bogor, seluas 25 hektare. ”Saya memang hobi naik jeep dan main off road, akhirnya pada 2013 saya mencoba membangun JSI Resort, mengumpulkan para penghobi mobil off road. Habis main jeep, mereka bisa nyaman beristirahat,” ungkap pendiri Forum Persaudaraan Anak Bangsa (FPAB) itu, tentang konsep JSI Resort yang ia prakarsai.

Panca Krida: Filosofi Hidup Sang Visioner

Di tengah kesuksesannya, Jerry tetap berpijak pada nilai-nilai yang ia sebut “Panca Krida” — lima semangat hidup yang menjadi pegangan dalam berbisnis maupun berkarya. Panca Krida ala JHL, yaitu Kesempatan, Kerja Keras, Kerja Cerdas, Tuntas, dan Loyalitas.

Jadi, Panca Krida ini bisa dibilang resep manjur dan relevan bagi pengusaha yang baru memulai bisnis? ”Jujur, saya tidak pandai memotivasi orang. Buat saya, setiap orang, terutama pengusaha harus mau menunggu kesempatan, mencari kesempatan, dan menciptakan kesempatan,” ucapnya serius.

“Kalau orang diberikan kesempatan, dia harus belajar, bekerja, lalu berkarya. Jangan malas. Kerja itu harus cerdas dan sepenuh hati. Kalau tidak mencintai pekerjaan, bagaimana mau berhasil?” lanjutnya, seraya menyesap teh hangatnya, sembari sesekali menghisap cerutu yang terselip di tangan kanannya.

Sebagai pengusaha Indonesia berdarah Tionghoa, tentu nilai-nilai budaya sebagai etnis Tionghoa juga ia pegang teguh. Ayah empat orang anak itu, mengaku, orang Tionghoa itu punya dua hal yang paling ditakuti.

”Cuma dua saja, takut bodoh dan takut miskin,” ucapnya lantas tertawa. Ucapannya memang setengah bercanda, tapi sebenarnya itu lah yang membuatnya maju dan bersemangat hingga hari ini.

Ketika seseorang takut bodoh dan takut miskin, maka ia akan berupaya sekuat tenaga untuk berusaha agar bisa berhasil di bidang yang dipilihnya. ”Karena ia merasa bodoh, maka orang cenderung akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi ahli dalam bidang tertentu. Memang tidak semua orang harus pintar di semua bidang, tapi paling tidak ada satu atau dua yang ia tekuni dan ia yakini menjadi keahliannya, seperti kamu kan, pilih jadi wartawan karena kamu yakin akan kepandaian kamu menulis,” sebutnya, seraya melibatkan saya dalam percakapan wawancara eksklusif itu.

Lebih jauh, Jerry melanjutkan tentang istilah takut miskin. ”Kalau orang takut miskin, maka ia akan berupaya untuk mengelola keuangannya dengan sebaik-baiknya. Berbisnis, menabung, lalu mengupayakan agar uang tersebut bisa menjadi modal bisnis agar berkelanjutan,” ungkap pemilik nama Tionghoa Lo Suk Ciang itu.

Chairman JHL Group Jerry Hermawan Lo saat diwawancara secara eksklusif oleh tim Naradaily. (Hendi Permana/Naradaily) 

Bangun Ekonomi Kerakyatan dan Lahirkan Banyak Sarjana Pertanian

Tidak ingin dikenal sebagai pengusaha sukses saja, Jerry punya mimpi besar melahirkan ribuan, belasan, bahkan jika bisa puluhan ribu sarjana pertanian. Menurutnya, Indonesia harus mulai membangun ekonomi dari hal yang paling fundamental.

Ia bercermin dari sejumlah negara maju, yang berhasil membangun ekonomi mereka dari keunggulan yang ada. ”Apa yang bisa Indonesia unggulkan untuk melawan negara lain. Otomotif kita kalah dari China dan Jepang, Singapura unggul di Sumber Daya Manusia-nya, Korea Selatan yang tidak punya Sumber Daya Alam bisa unggul di sektor hiburan lewat K-Pop dan K-Drama, plus dunia kedokteran khususnya operasi plastik. Indonesia punya apa? Sumber Daya Alam!” sebut pria yang hobi travelling dan berhasil memperluas bisnisnya hingga ke mancanegara.

Ya, Jerry senang bepergian ke luar negeri. Bukan sekedar jalan-jalan dan berbisnis, ia justru mengambil kesempatan itu untuk melakukan analisis pasar.

Ia berusaha melihat, apa yang bisa dibawa pulang ke Tanah Air, kesempatan bisnis yang bisa membuka peluang kerja bagi masyarakat luas. ”Hingga tercetuslah, bahwa Indonesia harus bangkit lewat ekonomi kerakyatan. Sebagai negara agraris, Indonesia tiada tanding di bidang pertanian. Sayangnya, profesi sebagai petani masih dinilai negatif di mata anak muda,” bebernya.

Salah satu program yang kini menjadi fokus JHL Foundation adalah melahirkan ribuan sarjana pertanian yang siap mengubah wajah pangan Indonesia. Awalnya, Jerry hanya menargetkan 1.000 sarjana pangan, namun antusiasme luar biasa membuat jumlahnya membengkak menjadi 1.200 mahasiswa dari berbagai daerah: Medan, Lampung, Riau, Manado, hingga Nusa Tenggara Timur.

“Banyak lahan tidur di negeri ini. Kenapa tidak kita manfaatkan? Fakultas pertanian itu harus kembali diminati. Anak muda jangan cuma bangga jadi ojek online, tapi harus bangga jadi petani,” katanya sambil terkekeh, lalu menambahkan dengan nada serius, “Kita ini negara agraris, masa bahan makanan harus impor terus?”

Melalui Royal Agro Industry, Rumah Kopi Indonesia, dan Dewa Coco, JHL berupaya mendorong petani lokal agar bisa naik kelas, menanam dan memproduksi hasil pertanian yang punya nilai ekspor tinggi — dari kelapa hingga vanili dan kopi.

Bisnis dengan Nurani

Bagi Jerry, bisnis bukan semata mengejar keuntungan, tapi soal membuka lapangan kerja dan menebar manfaat. “Inspirasi saya datang bukan dari uang. Hidup saya sudah cukup. Tapi kalau saya bisa bantu orang lain punya pekerjaan, itu kebahagiaan yang sesungguhnya,” katanya sambil tertawa lagi — tawa yang kali ini terdengar tulus dan ringan.

Prinsip “takut miskin dan takut bodoh” yang sering ia ucapkan bukan sekadar slogan. Itu adalah dorongan untuk terus belajar, bekerja lebih keras, dan tidak cepat puas. “Saya ingin setiap orang punya kesempatan yang sama. Sukses itu bukan datang secara kebetulan, tapi dari kerja keras. Pembelajaran yang terus menerus. Dan yang terpenting, harus mencintai pekerjaannya,” ujarnya menutup perbincangan.

Sore itu, perbincangan kami berakhir dengan tawa hangat dan secangkir teh yang sudah tinggal separuh. Dalam kesederhanaannya, Jerry Hermawan Lo memancarkan filosofi hidup yang dalam: bahwa sukses bukan tentang berapa banyak yang dimiliki, melainkan berapa banyak yang bisa diberikan. (sic/kom)