Naradaily–Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta Lukmanul Hakim mempertanyakan motif pengendapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp14,6 triliun di perbankan. Lukman menegaskan bahwa dana publik seharusnya digerakkan untuk kepentingan rakyat, bukan dibiarkan mengendap tanpa manfaat ekonomi.

“Sejak 2020, saya sudah berkali-kali mengingatkan, jangan terlalu ‘asik’ menaruh uang daerah di deposito. Uang publik seharusnya mendorong pertumbuhan ekonomi, bukan tidur di bank,” kata Lukman di Jakarta, Kamis (23/10/2025).

Menurut dia, pengendapan dana APBD sebesar Rp14,6 triliun itu semestinya tidak boleh terjadi dan menimbulkan pertanyaan serius mengenai motif kebijakan tersebut. Lukman meminta agar alasan kebijakan ini disampaikan secara transparan kepada publik. “Apakah ini murni alasan teknis atau ada kepentingan di luar publik? Ini harus dijelaskan secara terbuka,” ujar Lukman.

Ia juga menyoroti kemungkinan adanya hubungan yang tidak sehat antara pejabat pengelola keuangan daerah dan pihak bank penerima penempatan dana. Karena itu, ia mendesak Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) memberikan klarifikasi mengenai pihak yang memberi instruksi dalam penempatan dana tersebut.

“Sebagai Kepala BPKD, pejabat yang bersangkutan harus memastikan uang daerah bekerja untuk rakyat, bukan tidur di deposito. Di bank mana saja dana Rp14,6 triliun itu ditempatkan? Dalam bentuk apa? Berapa bunganya dan ke mana dialokasikan hasil bunganya?” tanya Lukman.

Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo sebelumnya menyatakan bahwa dana mengendap sebesar Rp14,6 triliun itu akan digunakan untuk pembayaran proyek pembangunan di Jakarta pada akhir 2025.

“Itu betul 1000 persen (dana mengendap), bukan 100 persen lagi, 1000 persen. Tetapi memang Jakarta ini, pola pembayaran untuk APBD-nya biasanya terjadi pelonjakan di akhir tahun. Itulah yang kita persiapkan untuk pembayaran-pembayaran di akhir November dan Desember ini,” jelas Pramono saat ditemui di Jakarta Pusat, Rabu (22/10).

Pramono kemudian mencontohkan bahwa pola serupa juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, di mana dana yang mengendap pada akhir 2023 mencapai Rp16 triliun dan pada 2024 mencapai Rp18 triliun. Ia memastikan dana tersebut akan dipakai untuk membayar berbagai proyek pembangunan di ibu kota.(kom)