Naradaily-Perwakilan Tetap Sudan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Al-Harith Idriss al-Harith Mohamed, mendesak Dewan Keamanan (DK) PBB untuk membuka penyelidikan terhadap dugaan genosida yang terjadi di Kota Al Fashir, wilayah Darfur, Sudan. Seruan ini disampaikan dalam sesi khusus DK PBB yang membahas situasi kemanusiaan dan keamanan di Sudan, Kamis (30/10/2025).
“Kami mendesak Dewan untuk membuka penyelidikan terhadap genosida yang dialami penduduk kota Al Fashir demi mendorong proses pertanggungjawaban,” kata Al-Harith dalam pernyataannya. Ia menegaskan bahwa setiap hari milisi di wilayah tersebut mengeluarkan ancaman pembunuhan massal terhadap warga sipil.
Seruan ini muncul setelah laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Rabu (29/10) yang mengecam tindakan pasukan Dukungan Cepat (RSF). Menurut laporan itu, lebih dari 460 warga sipil tewas dan enam tenaga kesehatan diculik dari Rumah Sakit Bersalin Saudi di Darfur Utara.
Konflik di Sudan sendiri telah berlangsung sejak 2023, melibatkan bentrokan antara militer Sudan dan pasukan paramiliter RSF. Pada Maret lalu, militer sempat mengumumkan keberhasilannya mengusir kelompok pemberontak dari ibu kota Khartoum, namun RSF membalas dengan meningkatkan serangan di wilayah barat dan selatan serta mengumumkan pembentukan pemerintahan tandingan.
Situasi di Darfur terus memburuk. WHO mencatat bahwa sekitar 28.000 warga telah mengungsi dari Al Fashir dalam beberapa hari terakhir, sementara 100.000 lainnya diperkirakan akan mengungsi ke wilayah tetangga Tawila. Lebih dari 260.000 orang masih terjebak di kota tersebut tanpa akses yang memadai terhadap pangan dan air bersih.
Pada awal Oktober, PBB juga telah memperingatkan tentang krisis kemanusiaan besar di Sudan. Saat ini, diperkirakan 30 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan di tengah konflik yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda.
Seruan Sudan kepada DK PBB menambah tekanan internasional agar lembaga tersebut mengambil langkah konkret untuk menghentikan kekerasan dan memastikan akuntabilitas terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Darfur.(kom)