Naradaily-Di balik megahnya bangunan Bandara Internasional Kertajati, tersimpan cerita getir tentang perencanaan yang gagal dan ambisi pembangunan yang kehilangan pijakan. Bandara yang semula digadang-gadang menjadi kebanggaan Jawa Barat kini justru menjadi simbol ketimpangan arah pembangunan nasional.
Suara kritis datang dari Didi Irawadi Syamsuddin, mantan anggota DPR RI dari Jawa Barat periode 2009–2024. Dengan nada kecewa, Didi menilai Kertajati bukan sekadar proyek infrastruktur yang gagal secara teknis, tetapi juga cerminan kegagalan visi kebijakan publik yang berpihak pada rakyat.
“Sebagai wakil rakyat dari Jawa Barat, saya merasa prihatin dan kecewa melihat Bandara Kertajati yang kini menjadi simbol gagalnya perencanaan strategis pemerintah pusat. Proyek yang seharusnya membawa manfaat ekonomi bagi warga Jabar justru berubah menjadi beban fiskal dan kebijakan yang tak berpijak pada realitas,” ungkap Didi dalam pesan singkatnya, Jumat (31/10/2025).
Bandara Kertajati dibangun dengan harapan besar menjadi pintu gerbang ekonomi baru bagi wilayah timur Jawa Barat. Namun, harapan itu tak seindah kenyataan. Sejak diresmikan, jumlah penerbangan minim, penumpang sepi, dan aktivitas ekonomi di sekitar kawasan tak kunjung menggeliat.
Menurut Didi, situasi ini bukan tanpa peringatan. Ia mengingatkan bahwa di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), proyek ini pernah dihentikan karena hasil feasibility study menunjukkan tidak layak untuk dilanjutkan. Namun, kebijakan berubah di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Di era Presiden Jokowi, logika perencanaan tergantikan oleh logika ambisi. Kertajati dibangun megah dengan dana triliunan, sebagian dari utang negara, namun kini sepi penumpang dan minim penerbangan. Bandara yang seharusnya menjadi kebanggaan justru menjadi monumen kegagalan dan pemborosan,” tegasnya.
Didi juga menyoroti kebijakan pemerintah pusat yang menyerahkan beban operasional bandara kepada Pemerintah Daerah Jawa Barat ketika hasilnya jauh dari harapan. Ia menyebut langkah itu sebagai kebijakan yang tidak adil dan merugikan rakyat.
“Ini seperti menyerahkan hadiah yang tak bisa dipakai, tapi harus tetap dibayar pajaknya oleh rakyat. Saya melihat kebijakan semacam ini tidak adil dan jauh dari prinsip akuntabilitas publik,” ujarnya.
Kritik Didi tak berhenti di situ. Ia menyinggung peran Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), yang kerap membanggakan proyek tersebut di atas kertas. Menurutnya, kenyataan di lapangan menunjukkan hal berbeda.
“Luhut mungkin bisa membanggakan proyek ini di atas kertas, namun fakta di lapangan berbicara lain. Tanpa perhitungan matang, infrastruktur hanya menjadi simbol politik — bukan instrumen kemajuan,” kata Didi menegaskan.
Ia menilai pembangunan seharusnya bukan tentang berapa banyak proyek diresmikan, melainkan seberapa besar manfaat yang dirasakan rakyat. Bagi Didi, Bandara Kertajati adalah pelajaran mahal agar pemerintah ke depan lebih berhati-hati dan transparan dalam merencanakan proyek strategis nasional.
“Indonesia tak kekurangan beton, tapi kekurangan arah. Pembangunan sejati bukan tentang jumlah proyek yang diresmikan, melainkan seberapa besar manfaat yang benar-benar dirasakan rakyat. Kertajati mestinya menjadi pelajaran agar perencanaan nasional lebih akuntabel dan berpihak pada rakyat, bukan ambisi pribadi,” tutup Didi dengan nada reflektif.
Kini, Bandara Kertajati berdiri megah di tengah sunyi — menjadi pengingat bahwa pembangunan tanpa perhitungan matang bisa berubah dari kebanggaan menjadi beban. Kritik Didi Irawadi menjadi cermin tajam bagi pemerintah: bahwa pembangunan sejati harus berakar pada kebutuhan rakyat, bukan pada pencitraan politik semata. (kom)