Naradaily-Hamas menegaskan bahwa keputusan otoritas Israel di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu untuk tetap menutup perlintasan perbatasan Rafah merupakan pelanggaran nyata terhadap perjanjian gencatan senjata. Hamas menilai langkah tersebut juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap komitmen yang sebelumnya telah disampaikan kepada para mediator.
Sebelumnya, kantor Netanyahu mengumumkan bahwa penyeberangan Rafah akan tetap ditutup sampai pemberitahuan lebih lanjut. Keputusan ini dianggap bertentangan dengan perjanjian gencatan senjata yang berlaku di Jalur Gaza.
“Keputusan Netanyahu untuk mencegah pembukaan kembali perlintasan Rafah hingga pemberitahuan lebih lanjut merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap perjanjian gencatan senjata dan pengingkaran terhadap komitmen yang telah dibuatnya di hadapan para mediator dan pihak penjamin,” kata Hamas dalam sebuah pernyataan pada Sabtu (18/10/2025).
Sesuai kesepakatan, perlintasan Rafah seharusnya kembali dibuka pada Rabu lalu sebagai bagian dari fase pertama gencatan senjata yang mulai diterapkan sejak 10 Oktober. Namun sejak Mei 2024, tentara Israel telah memblokir pergerakan warga Palestina melalui jalur tersebut. Rafah sendiri merupakan satu-satunya titik keluar dari Gaza yang tidak dikuasai Tel Aviv sebelum agresi militer Israel pada Oktober 2023.
“Penutupan berkelanjutan terhadap Rafah yang menghalangi evakuasi korban luka dan sakit, membatasi pergerakan warga sipil, menghalangi masuknya peralatan khusus untuk mencari orang hilang di bawah reruntuhan, serta menghalangi tim forensik dalam mengidentifikasi jenazah akan menunda pemulihan dan penyerahan jenazah (sandera Israel),” lanjut Hamas.
Kelompok tersebut juga menyebut bahwa Israel telah melakukan lebih dari 47 pelanggaran selama masa gencatan senjata, yang menyebabkan 38 korban jiwa dan 143 luka-luka. Hamas menilai hal ini menunjukkan niat agresif Israel dan kebijakan pengepungan yang terus menekan lebih dari dua juta warga Palestina di Gaza. Mereka menuduh Netanyahu sengaja menciptakan alasan palsu untuk menggagalkan kesepakatan dan menghindari kewajiban yang sudah disepakati.
Hamas pun mendesak para mediator internasional untuk segera menekan Israel agar kembali membuka Rafah, mematuhi seluruh ketentuan perjanjian, dan menghentikan berbagai pelanggaran di Gaza.
Berdasarkan perjanjian gencatan senjata, Hamas telah membebaskan 20 sandera Israel yang masih hidup dan menyerahkan 13 jenazah lainnya, dengan imbalan hampir 2.000 tahanan Palestina. Kesepakatan ini merupakan hasil perundingan yang difasilitasi berdasarkan rencana bertahap dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Pada tahap awal, kesepakatan mencakup pembebasan sandera dan tahanan, disusul pembangunan kembali Gaza serta pembentukan mekanisme pemerintahan baru tanpa keterlibatan Hamas.
Sejak Oktober 2023, agresi militer Israel di Jalur Gaza telah menewaskan lebih dari 68.100 orang dan melukai sekitar 170.200 lainnya, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza. (kom)