Naradaily-Direktur Umum PT Pertamina (Persero) periode 2012–2014, Luhur Budi Djatmiko, didakwa merugikan negara hingga Rp348,69 miliar dalam kasus dugaan korupsi pembelian lahan di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, pada 2012–2014.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung, P. Hutasoit, menyatakan Luhur diduga melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. “Memperkaya korporasi PT Bakrie Swastika Utama dan PT Superwish Perkasa sebesar Rp348,69 miliar,” ujar jaksa saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis (16/10/2025).
Secara rinci, dua perusahaan tersebut disebut diperkaya melalui pembayaran PT Pertamina sebesar Rp260,51 miliar atas pembelian lahan di luar Jalan MHT yang melebihi nilai wajar, berdasarkan hasil penilaian Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Sugianto Prasodjo dan Rekan di bawah supervisi Dewan Penilai MAPPI. Selain itu, mereka juga menerima pembayaran atas fasilitas umum berupa Jalan MHT senilai Rp88,18 miliar, yang seharusnya tidak perlu dibayarkan.
Jaksa menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dilakukan Luhur bersama Vice President Asset Management Pertamina 2010–2014 Gathot Harsono, General Support Manager 2011–2014 Hermawan, Komisaris PT Prodeva Doubles Synergy Firman Sagaf, serta Ketua Tim Konsultan PT PDS tahun 2012 Nasiruddin Mahmud.
Atas perbuatannya, Luhur didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam dakwaan, Luhur disebut mengajukan alokasi anggaran pengadaan lahan untuk pembangunan Pertamina Energy Tower (PET) dalam revisi Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun 2013 pada 5 November 2012 tanpa disertai kajian investasi. “Sementara itu, Luhur pada 27 November 2012 baru mengusulkan kajian investasi kepada Direksi Pertamina,” ujar jaksa.
Ia bersama Gathot dan Hermawan juga disebut mengarahkan PT PDS untuk melakukan kajian lahan di kawasan Rasuna Epicentrum secara proforma, dengan laporan akhir yang dibuat mundur tanggalnya agar terkesan pembelian lahan didasarkan pada kajian yang sah. Ketiganya juga diduga menentukan sendiri lokasi proyek tanpa kajian yang layak.
Selain itu, Luhur disebut mengarahkan KJPP FAST untuk menyusun laporan penilaian lahan Rasuna Epicentrum seolah-olah bebas dan bersih, dengan harga Rp35,57 juta per meter persegi. Harga tersebut kemudian disetujui Direksi Pertamina dan disahkan sebagai Rp35 juta per meter persegi, meskipun laporan akhir sebenarnya baru diterima berbulan-bulan setelah transaksi berlangsung.
Jaksa juga membeberkan bahwa Luhur menandatangani perjanjian jual beli (PPJB) dengan pihak PT Superwish Perkasa dan PT Bakrie Swasakti Utama atas lahan yang tidak dalam kondisi bebas dan bersih. Ia bahkan menyetujui pembayaran Rp1,68 triliun kepada kedua perusahaan tersebut untuk tanah yang nilainya melebihi harga wajar.
Kasus ini menjadi salah satu perkara besar yang menyorot proses pengadaan aset di tubuh Pertamina, yang dinilai penuh kejanggalan dan melibatkan sejumlah pejabat internal perusahaan pelat merah tersebut. (kom)